Sering kali, gangguan kesehatan fisik dan kesehatan jiwa berjalan beriringan. Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang dengan penyakit fisik yang berat atau kronis sering memiliki masalah kesehatan jiwa. Pada saat yang sama, orang-orang dengan penyakit gangguan jiwa berat ataupun dengan masalah penyalahgunaan obat-obatan memiliki masalah kesehatan fisik yang tetap tidak terdeteksi atau tidak tertangani.
Tahun ini, WFMH berfokus pada hubungan gangguan kesehatan jiwa dan penyakit kronis. World Health Organization (WHO) mencatat 4 (empat) penyakit kronis-penyakit kardiovaskuler, diabetes, kanker, dan penyakit saluran pernafasan-yang bertanggung jawab atas 60 persen kematian di dunia.
Pemahaman kita tentang hubungan antara penyakit kronis dengan penyakit jiwa telah meningkat secara dramatis dalam dua dekade terakhir. Kita sekarang tahu bahwa orang dengan penyakit kronis memiliki tingkat depresi dan kecemasan yang lebih tinggi daripada populasi umum. Depresi pada orang-orang yang mengalami kondisi medis yang kronis meningkatkan beban pada penyakit fisiknya dan gejala somatisnya, menyebabkan peningkatan penurunan kemampuan berfungsi mereka, dan meningkatkan biaya pengobatan. Adanya penyakit jiwa pada penyakit fisik kronis mengakibatkan gangguan kemampuan perawatan diri dan kepatuhan terhadap regiman pengobatan dan hal ini menyebabkan meningkatnya kematian.
Intinya adalah bahwa penyakit jiwa yang muncul dalam kondisi kronis ini menyebabkan penurunan fungsi peran yang signifikan, kehilangan pekerjaan, dan penfurangan kerja. Hal ini juga memperburuk prognosis penyakit jantung, stroke, diabetes, HIV/AIDS, kanker dan penyakit kronis lainnya. Namun demikian bukan penyakit jiwanya saja yang perlu dibahas, tapi terdapat hal lain yang juga berkontribusi, yaitu konsumen (penderita), penyedia layanan kesehatan dan faktor sistem. Konsumen dan keluarga mungkin tidak mengenali atau tidak tepat mengidentifikasi gejala atau mungkin enggan mencari perawatan. Penyedia layanan kesehatan mungkin tidak memiliki pelatihan, peralatan, atau sarana penunjang yang tepat untuk memberikan intervensi yang sesuai. Sistem mungkin memiliki kendala dan keterbatasan terkait dalam hal pembiayaan dan ketersediaan dan akses terhadap perawatan kesehatan jiwa.
Namun, pengobatan yang efektif untuk penyakit jiwa memang ada. Kita memiliki intervensi yang tepat untuk mengatasi masalah ini, mengurangi beban hidup rakyat dan beban ekonomi dan sosial di masyarakat. Konsumen dan keluarga perlu memiliki pemahaman yang lebih baik tentang gejala dan pengobatan penyakit jiwa. Penyediaan pelayanan kesehatan dan dokter harus memiliki pelatihan yang lebih baik. Sistem pembiayaan pelayanan kesehatan harus menyadari bahwa perawatan penyakit jiwa pada kondisi penyakit fisik kronis dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan pemerintah.
Penyakit Fisik Kronis dan Gangguan Jiwa: Fakta, Tinjauan dan Langkah Tindakan
Tahun ini WFMH menyoroti keprihatinan global terhadap gangguan jiwa dan emosi yang tidak terdiagnosa pada orang-orang yang menghadapi penyakit kronis, dan perlunya para prnfesional kesehatan menyediakan sistem perawatan yang terintegrasi. Hasil survei WHO mengindikasikan bahwa depresi memiliki dampak terbesar pada memburuknya kesehatan seseorang dibandingkan penyakit kronis lainnya. Depresi, disertai oleh satu penyakit kronis atau lebih, mencerminkan buruknya tingkat kesehatan suatu negara.
Dr. Gauden Galea, coordinator PBB/WHO bagian promosi kesehatan mencatat bahwa empat penyakit kronis (penyakit kardiovaskuler, diabetes, kanker dan penyakit saluran nafas) bertanggung jawab atas 60 persen kematian di dunia. Jika tidak ada yang dilakukan, para ahli memperkirakan kita akan menyaksikan 388.000.000 orang meninggal prematur dalam 10 tahun mendatang.
Salah satu faktor resiko yang dikaitkan dengan penyakit kronis adalah dalpak emosional terhadap orang yang sakit dan keluarga mereka. Banyak penyakit kronis yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap status mental dan emosi seseorang, dan pada gilirannya, dengan tidak terdiagnosanya gangguan jiwa ini dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menghadapi penyakitnya dan berpartisipasi dalam proses perawatan dan pemulihan. Kathryn A. Powdrs, M.Ed, Direktur Pusat Pelayanan Kesehatan Mental Amerika Serikat, menyatakan, “Kita mengetahui bahwa banyak individu dengan kondisi medis yang kronis mengalami gangguan jiwa dan penyalahgunaan obat-obatan yang tidak tertangani, dan hal ini dapat mempersulit pemulihan mereka dari kedua kondisi tersebut.”
Belajar mengatasi dan hidup dengan kondisi penyakit jangka panjang adalah stres bagi kebanyakan orang. Stres yang persisten dan tak henti-hentinya sering menyebabkan kecemasan dan perilaku yang tidak sehat. Adalah tidak biasa bagi pasien dan anggota keluarga untuk mengalami periode kecemasan berkepanjangan tentang efek penyakit terhadap hidup mereka. Indikator kecemasan meliputi gejala fisik, seperti kesulitan bernafas, nyeri dada, gemetar, sakit kepala, dan pusing. Gejala psikologis cemas, seperti takut apa yang akan terjadi, termasuk khawatir tentang siapa yang akan merawat, dan bagaimana perkembangan penyakit. Apa yang dirasakan dan dipikirkan dan bagaimana cara mengatasi emosi yang muncul akan mempengaruhi kemampuan pasien untuk mengatasi kondisi kronis tersebut.
Depresi sering disebut sebagai reaksi normal terhadap situasi yang tidak normal. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa depresi merupakan komplikasi yang paling umum pada penyakit fisik yang kronis atau yang serius. Resiko mengalami depresi umumnya 10-25% pada wanita dan 5-12% pada pria. Namun, mereka yang dengan kondisi penyakit kronis, menghadapi resiko yang lebih tinggi antara 25-33% (http://www.webmd.com/depression/guide/chronic-illnesses-depression). Penelitian menunjukkan bahwa depresi sering menyebabkan perubahan yang dapat memperburuk kondisi medis dan mengurangi energi yang dibutuhkan untuk mengatasi perubahan yang terjadi dan jadwal perawatan, menciptakan siklus setan yang memperburuk gejala fisik dan emosional.
Penyakit Kardiovaskuler dan Penyakit Jiwa
Fakta
- Depresi terjadi pada 1 dari 5 pasien rawat jalan dengan penyakit jantung koroner (PJK), dan 1 dari 3 pasien rawat jalan dengan gagal jantung kongestif.
- Gangguan depresi merupakan faktor resiko terjadinya PJK pada pasien sehat, dan meningkatkan resiko serangan jantung atau terbentuknya gumpalan darah (clotting) pada pasien sakit jantung.
- Dalam sebuah studi didapatkan adanya depresi meningkatkan resiko kematian sampai 17 persen dalam waktu 6 bulan setelah serangan jantung (bandingkan dengan 3 persen kematian pada pasien jantung yang tidak mengalami depresi).
Depresi diamati pada kasus sindrom koroner akut (SKA) umum terjadi dan meningkatkan resiko kematian. Orang yang secara medis dinyatakan sehat namun mengalami depresi memiliki resiko signifikan mengalami serangan jantung dan stroke di kemudian hari (Glassman et al., Arch Gen Psychiatry, 2007).
Langkah
Penelitian telah dilakukan untuk melihat hubungan gangguan kecemasan umum dengan resiko tinggi penyakit jantung, dan didapatkan evaluasi dan pengobatan kecemasan dapat dianggap sebagai bagian dari manajemen yang komprehensif pada pasien dengan PJK.
Diabetes dan Depresi
Fakta
- Berdasarkan perkiraan prevalensi global diabetes yang dilakukan tahun 2000, 43 juta orang dengan diabetes memiliki gejala depresi.
- Depresi meningkatkan resiko kematian pada penderita diabetes sebesar 30 persen.
- Beban ekonomi diabetes dengan depresi menaikkan biaya perawatan kesehatan sebesar 50-75 persen.
Individu dengan diabetes umumnya harus menjalani perubahan gaya hidup yang ekstensif untuk mengelola penyakit mereka, dan sering mengalami stres yang cukup besar dan berpengaruh negatif, yang berdampak signifikan terhadap kualitas hidup dan kemampuan untuk mengikuti perubahan gaya hidup yang baru.
Laporan dari WHO dan International Diabetes Federation memperlihatkan pentingnya mendorong kesejahteraan psikologis pada orang yang menderita diabetes, yang diharapkan mampu mengurangi terjadinya masalah metabolik dan komplikasi.
Langkah
1. Mengenal gejala depresi.
2. Mendapatkan bantuan (psikoterapi/konseling, obat antidepresi).
Kanker dan Penyakit Jiwa
Fakta
Sekitar separuh dari semua pasien dengan kanker stadium terminal atau lanjut mengalami kesehatan jiwa yang buruk, khususnya depresi, kecemasan, dan gangguan penyesuaian. Dan kurang dari separuhnya yang menerima pengobatan untuk kesehatan jiwa.
Kematian 25% lebih tinggi pada pasien yang merasa depresi dan meningkat 39% pada pasien yang terdiagnosis depresi.
Tinjauan
1 dari 4 penderita kanker (dewasa, anak-anak, remaja) akan mengalami depresi pada beberapa waktu setelah diagnosis kanker. Sayangnya, banyak orang dengan kanker dan anggota keluarganya beranggapan hal yang normal untuk depresi atau sedih jika didiagnosa kanker. Namun, tidak sesuai pasien kanker menderita depresi yang serius. Dr. Michelle Riba, Direktur Program Psiko-onkologi pada Pusat Kanker di Universitas Michigan berkata, sering pasien mengatakan lebih sulit menghadapi emosi akibat kanker daripada menghadapi kondisi medis lainnya. Penelitian terbaru menunjukkan penyakit jiwa yang tidak tertangani akan memperpanjang lama pengobatan, menghambat pengobatan yang efektif, dan akhirnya mengurangi kesempatan untuk bertahan hidup.
Langkah
Skrining untuk masalah kejiwaan harus menjadi bagian dari perawatan rutin di semua kunjungan pasien kanker. Pasien dan keluarga harus berbicara dengan dokter mereka tentang perasaan emosi mereka, hal ini penting untuk tidak menganggap bahwa hal yang normal untuk merasa cemas, depresi, kewalahan dan lain-lain. Penting juga bagi dokter dan perawat untuk menanyakan tentang tingkat kesulitan pasien. Anggota keluarga didorong untuk berpartisipasi dalam pengembangan dan pelaksanaan rencana perawatan.
Penyakit Saluran Nafas dan Penyakit Jiwa
Fakta
- Dua puluh persen pasien dengan asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) menderita depresi berat dan/atau kecemasan.
- Depresi membuat pasien sulit mematuhi pengobatannya.
- Studi menunjukkan bahwa psikofarmakologi dan/atau intervensi psikososial dapat meningkatkan kontrol terhadap asma.
Australian Lung Foundation menyatakan pentingnya memberdayakan pasien dengan meningkatkan kemampuan mengatasi stresor fisik dan psikososial. Jika perawatan untuk penyakit saluran pernafasan tidak terintegrasi dengan respon kekhawatiran secara psikologis dan emosional dengan penyakit kronis, perasaan negatif seperti kecemasan, kemarahan, ketegangan, frustasi, putus asa dan depresi mungkin terjadi dan berkontribusi memburuknya kesehatan pasien. Prevalensi depresi dan kecemasan pada pasien PPOK berkisar 40-90%, dibandingkan 8-20% di populasi normal.
Menurut Jean Boubeau, MD, Direktur Unit Epidemiologi Respirasi dan Penelitian Klinis Universitas McGill di Montreal, penting bagi pasien PPOK bahwa depresi dan kecemasan harus diperlakukan sebagai potensi resiko klinis yang penting, bukan sebagai ko-morbiditas yang sederhana yang disebabkan PPOK.
Pengaruh keadaan emosi pada fungsi paru di asma telah dipelajari secara ekstensif. Temuan baru menunjukkan bahwa saluran udara yang reaktif terhadap kondisi psikologis dan diperkuat penilaian retrospektif pasien pribadi menunjukkan bahwa perubahan emosi menyebabkan eksaserbasi asma.
Langkah
Diharapkan dengan mengobati depresi pada penyakit asma, dampak negatif dari co-existence dapat diminimalkan. Dengan mengobati depresi dapat meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan medis dan manajemen pengobatan asma yang lebih efektif, dan bahkan menurunkan angka kematian yang berhubungan dengan asma, dan juga berarti kemungkinan meningkatkan kualitas hidup secara dramatis.
(Disarikan dari WFMH 2010 dalam rangka Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 10 Oktober 2010)
(Cynthia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar